Mainstream yang Membius, Indie yang Membebaskan? Membaca Ulang Fungsi Sosial Film di Era Streaming

Film telah berkembang pesat sejak ditemukannya teknologi fotografi pada abad ke-19. Seiring berjalannya waktu, sinema menjadi bagian penting dalam budaya global, menghibur sekaligus menyampaikan pesan sosial. Film terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu film mainstream dan non-mainstream. Film mainstream biasanya diproduksi oleh studio besar dengan tujuan komersial, sedangkan film non-mainstream lebih mengutamakan eksplorasi artistik dan kebebasan berekspresi. Keduanya memiliki keunggulan dan tantangan masing-masing, yang membuat dunia perfilman semakin beragam dan menarik untuk dikaji. Film mainstream memiliki sejarah panjang yang bermula dari era klasik Hollywood pada tahun 1930-an. Industri ini didukung oleh sistem studio besar yang memiliki kontrol penuh terhadap produksi, distribusi, dan pemasaran film. Ciri utama film mainstream adalah penggunaan narasi linear, karakter dengan motivasi yang jelas, serta penyuntingan yang memastikan kesinambungan visual. Beberapa teori yang sering digunakan dalam film mainstream antara lain Teori Realisme, Teori Klasik Hollywood, dan Teori Auterisme. Teori Realisme, seperti yang dikemukakan oleh André Bazin, menekankan pada representasi dunia nyata dalam film dengan minimnya manipulasi sinematik. Contoh penerapannya dapat ditemukan dalam film The Revenant (2015), yang menggunakan pencahayaan alami untuk menciptakan atmosfer realistis. Sementara itu, Teori Klasik Hollywood mengutamakan alur cerita yang mudah diikuti oleh penonton, dengan contoh film seperti Titanic (1997) dan Avengers: Endgame (2019). Film mainstream juga sering mengikuti Teori Auterisme, yang menyoroti peran sutradara sebagai kreator utama. Contohnya adalah Christopher Nolan dengan gaya naratif non-linear dalam film Inception (2010) dan Interstellar (2014).

Salah satu keunggulan utama film mainstream adalah daya tariknya yang luas, memungkinkan film ini menjangkau berbagai kalangan penonton. Dengan anggaran besar, film mainstream dapat menghadirkan efek visual spektakuler dan aktor terkenal yang meningkatkan daya jual. Selain itu, alur cerita yang mudah dipahami membuat film ini lebih menghibur bagi masyarakat umum. Film mainstream juga mampu menciptakan waralaba besar seperti Marvel Cinematic Universe (MCU) dan Fast & Furious, yang memiliki basis penggemar setia di seluruh dunia. Keberadaan waralaba ini tidak hanya menguntungkan industri film tetapi juga merambah ke berbagai sektor lain seperti merchandise, video game, hingga theme park yang memperkuat eksistensi film tersebut dalam budaya populer.

Namun, film mainstream juga mendapat kritik karena sering kali terlalu mengutamakan aspek komersial daripada inovasi artistik. Banyak film yang mengikuti formula sukses tanpa memberikan sesuatu yang baru, sehingga terasa klise dan repetitif. Selain itu, kebebasan kreatif sutradara sering kali terbatas oleh kepentingan studio, yang lebih mengutamakan keuntungan finansial daripada visi artistik. Beberapa film bahkan mengalami perubahan besar dalam proses produksinya akibat intervensi studio, yang berusaha menyesuaikan dengan selera pasar global agar dapat menghasilkan keuntungan sebesar mungkin. Berbeda dengan film mainstream, film non-mainstream lebih mengutamakan kebebasan berekspresi dan eksplorasi artistik. Film jenis ini sering kali dibuat oleh sineas independen dengan anggaran terbatas, tetapi memiliki nilai artistik yang tinggi. Beberapa teori utama yang digunakan dalam film non-mainstream antara lain Teori Formalisme, Teori Ekspresionisme, dan Teori Montase Soviet. Teori Formalisme berpendapat bahwa film bukan sekadar representasi realitas, tetapi juga medium seni yang dapat dimanipulasi secara kreatif. Contohnya dapat dilihat dalam film Enter the Void (2009) karya Gaspar Noé, yang menggunakan efek visual psikedelik untuk menciptakan pengalaman sinematik yang unik. Sementara itu, Teori Ekspresionisme lebih menekankan pada penggunaan warna dan pencahayaan yang mencolok untuk mencerminkan kondisi psikologis karakter. Contoh penerapan teori ini dapat ditemukan dalam The Cabinet of Dr. Caligari (1920) dan Eraserhead (1977). Selain itu, Teori Montase Soviet yang dikembangkan oleh Sergei Eisenstein menunjukkan bahwa makna dalam film dapat dibentuk melalui teknik penyuntingan, seperti yang terlihat dalam film Requiem for a Dream (2000).

Film non-mainstream memiliki beberapa keunggulan dibandingkan film mainstream, terutama dalam hal kebebasan artistik. Sineas independen tidak terikat oleh aturan komersial, sehingga mereka dapat bereksperimen dengan teknik sinematografi, narasi, dan tema yang lebih mendalam. Banyak film non-mainstream yang mengangkat isu sosial dan politik dengan pendekatan yang lebih kompleks, seperti Parasite (2019) yang menyajikan kritik terhadap kesenjangan sosial dengan cara yang unik. Film non-mainstream juga sering menjadi platform bagi sutradara untuk menampilkan visi kreatif yang lebih berani dan tidak biasa, seperti The Lighthouse (2019) yang menggunakan aspek visual hitam putih dan aspek rasio yang sempit untuk menciptakan nuansa klaustrofobia. Namun, tantangan terbesar bagi film non-mainstream adalah keterbatasan anggaran dan distribusi. Tanpa dukungan dari studio besar, sulit bagi film ini untuk menjangkau audiens yang lebih luas. Selain itu, karena sering kali menampilkan konsep yang lebih abstrak atau tidak konvensional, film non-mainstream mungkin tidak mudah diterima oleh sebagian besar penonton. Sering kali film ini hanya ditayangkan di festival-festival film tertentu sebelum akhirnya dirilis dalam jumlah terbatas atau melalui platform streaming. Hal ini membatasi potensi pendapatan finansial bagi para pembuatnya, meskipun secara artistik memiliki nilai yang tinggi.

Dalam beberapa tahun terakhir, batas antara film mainstream dan non-mainstream semakin kabur. Banyak sutradara independen yang mulai mendapatkan perhatian di industri film mainstream, sementara studio besar juga mulai berani bereksperimen dengan konsep yang lebih unik. Contohnya adalah film Everything Everywhere All at Once (2022), yang menggabungkan elemen film indie dengan skala produksi yang lebih besar, sehingga berhasil menarik perhatian audiens global. Selain itu, kemajuan teknologi dan platform streaming telah memberikan ruang bagi film non-mainstream untuk menjangkau lebih banyak penonton. Netflix, Hulu, dan Amazon Prime telah membuka peluang bagi sineas independen untuk menampilkan karya mereka kepada audiens yang lebih luas, tanpa harus bergantung pada sistem distribusi konvensional. Film mainstream maupun non-mainstream memiliki peran penting dalam perkembangan industri sinema. Film mainstream menawarkan hiburan yang mudah diakses oleh masyarakat luas, sementara film non-mainstream memberikan ruang bagi eksplorasi artistik dan kebebasan berekspresi. Meskipun keduanya memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing, keduanya saling melengkapi dalam menciptakan dunia sinema yang dinamis dan beragam. Dengan semakin berkembangnya industri film, diharapkan bahwa batasan antara kedua kategori ini akan semakin fleksibel, memungkinkan lebih banyak inovasi dan kreativitas dalam dunia perfilman. Masyarakat pun kini semakin terbuka terhadap film-film dengan pendekatan yang berbeda, menjadikan perfilman sebagai salah satu medium ekspresi yang terus berkembang sepanjang waktu.

​Film telah berkembang pesat sejak ditemukannya teknologi fotografi pada abad ke-19. Seiring berjalannya waktu, sinema menjadi bagian penting dalam budaya global, menghibur sekaligus menyampaikan pesan sosial. Film terbagi menjadi dua kategori utama, yaitu film mainstream dan non-mainstream. Film mainstream biasanya diproduksi oleh studio besar dengan tujuan komersial, sedangkan film non-mainstream lebih mengutamakan eksplorasi artistik dan…  Ruang Film & Experimental 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *