Sinema gestural, dengan penekanan pada gerakan tubuh dan tari sebagai bahasa visual utama, bukan hanya sekadar cabang sinema eksperimental, melainkan arena di mana tubuh manusia berfungsi sebagai kanvas untuk revolusi bentuk. Dalam tradisi avant-garde, yang sejak awal abad ke-20 menentang narasi linear dan realisme konvensional, sinema gestural muncul sebagai medium untuk menguji batas antara seni pertunjukan dan sinema. Di sini, gerak tidak lagi berfungsi sebagai alat untuk melayani narasi, melainkan menjadi subjek itu sendiri – sebuah eksplorasi yang menolak dominasi cerita, menggantikannya dengan ritme, ruang, dan metafora visual.
Oeuvre Maya Deren, pelopor sinema avant-garde, berfungsi sebagai titik awal yang signifikan. In Meshes of the Afternoon (1943), Deren constructs a non-linear narrative through symbolic movements: hands repeatedly attempting to grasp a knife, footsteps echoing on the wooden floor, or shadows pursuing the protagonist’s body. Segmen-segmen ini tidak dimaksudkan untuk mengembangkan alur, melainkan untuk menyajikan pengalaman psikologis yang samar. Gerakan tubuh dalam film Deren berfungsi seperti bait puisi: setiap gestur merupakan kata, setiap repetisi adalah rima, dan setiap distorsi ruang-waktu berfungsi sebagai metafora. Karyanya A Study in Choreography for Camera (1945) lebih eksplisit: penari Talley Beatty melakukan lompatan tunggal yang direkam dari lima sudut berbeda, menciptakan ilusi bahwa tubuhnya melayang melalui ruang hutan, museum, dan ruang kosong. Di sini, kamera tidak merekam gerakan, melainkan menciptakan gerakan baru – sebuah kolaborasi antara koreografi fisik dan koreografi sinematik.
Avant-garde dalam sinema gestural sering kali mengimplementasikan teknik manipulasi temporal untuk mengungkap persepsi gerak. Film Ballet mécanique (1924) oleh Fernand Léger mempercepat gerakan manusia dan mesin sehingga keduanya kehilangan identitas aslinya. Peran seorang wanita yang terus-menerus menaiki tangga bukan lagi sekadar narasi tentang usaha, melainkan sebuah parodi terhadap mekanisasi kehidupan modern. Dalam era digital, eksperimen semacam ini terwujud dalam karya seperti We Are Moving (2020) oleh Eiko Otake, di mana gerakan lambat ekstrem mengtransformasi tarian butoh menjadi aliran cair yang memukau. Tubuh penari, yang dalam tradisi butoh sering diasosiasikan dengan penderitaan dan ketidakberdayaan, di sini bertransformasi menjadi entitas abstrak yang melampaui makna literal – sebuah bentuk murni yang hanya dapat ‘dibaca’ melalui sensasi.
Namun, sinema gestural tidak hanya berfokus pada estetika. Dalam banyak situasi, ia berfungsi sebagai instrumen politik untuk mempertanyakan norma-norma mengenai tubuh. Film Trance (2020) oleh Nguyen Tan Hoang mengeksplorasi tari voguing, yang berasal dari komunitas LGBTQ+ kulit hitam dan Latin di Harlem, sebagai bentuk perlawanan. Gerakan tajam, angular, dan bergaya dalam voguing direkam dari sudut kamera rendah, seolah-olah kamera turut menari, merayakan keberanian tubuh yang sering terpinggirkan. Penampilan di mana para penari membentuk pose “dips” dan “catwalk” bukan hanya sekadar pertunjukan, melainkan sebuah deklarasi mengenai hak untuk eksis di ruang publik. Di sisi lain, The Crippled Dance (2017) oleh Alice Sheppard menyajikan koreografi kursi roda yang mengtransformasi gerakan fungsional – seperti memutar roda atau mengangkat tubuh – menjadi tarian yang dinamis. Tubuh disabilitas, yang dalam narasi arus utama sering kali direduksi menjadi objek belas kasihan, di sini berfungsi sebagai subjek yang berdaulat atas ruang dan geraknya sendiri.
The primary challenge of gestural cinema lies in the risk of becoming ensnared in elitism. Kecenderungan yang abstrak dan minim narasi sering kali menyulitkan aksesibilitas bagi penonton umum. Namun, sutradara seperti Anne Teresa De Keersmaeker menunjukkan bahwa gestur dapat berfungsi sebagai penghubung antara kompleksitas avant-garde dan daya tarik populer. In collaboration with film director Thierry De Mey on Verklärte Nacht (2019), contemporary dance is integrated with split-screen techniques and the musical composition of Arnold Schoenberg. Adegan di mana empat penari beraksi di empat panel layar terpisah tidak hanya menawan secara visual, tetapi juga menghasilkan dialog antara gerakan, ruang, dan harmoni. This work demonstrates that gestural cinema should not sacrifice depth for beauty, or vice versa.
Di sisi lain, fetisisasi gerakan dalam sinema gestural sering kali mendapatkan kritik. Ketika tubuh dipersempit menjadi sekadar objek estetika – seperti dalam beberapa karya yang memanfaatkan gerakan lambat hanya untuk mengeksploitasi keindahan fisik – pesan politik atau filosofisnya dapat lenyap. Namun, sutradara seperti Pina Bausch melalui film Pina (2011) karya Wim Wenders menunjukkan bahwa keindahan dan makna dapat bersatu. Melalui teknologi 3D, Wenders merekam gerakan penari Pina Bausch – dari getaran halus hingga lompatan ekstrem – sebagai suatu bahasa yang menyampaikan kerinduan, kesepian, dan kegelisahan eksistensial, bukan sekadar pertunjukan. Persembahan di mana penari melompat dari kursi dan ‘terbang’ ke arah penonton merupakan metafora mengenai hasrat manusia untuk melampaui batas fisik, sebuah theme universal yang disampaikan melalui gestur intim.
Ultimately, gestural cinema within the avant-garde tradition is an endeavor to liberate the body from the constraints of conventional narrative and representation. Ia mengundang kita untuk memandang gerak bukan sebagai alat, melainkan sebagai teks itu sendiri – teks yang dapat dibaca melalui ritme, ruang, dan emosi. Dalam dunia yang semakin terperangkap dalam formula, sinema gestural berfungsi sebagai pengingat bahwa tubuh manusia, dengan segala kelemahan dan keindahannya, tetap menjadi medium paling primitif untuk mengekspresikan yang tak terungkapkan. Menurut Maya Deren, ‘Gerak merupakan bahasa primordial manusia, sebelum adanya kata-kata.’ Dalam sinema gestural avant-garde, gerakan tersebut berfungsi sebagai puisi akhir yang tidak memerlukan terjemahan.
Sinema gestural, dengan penekanan pada gerakan tubuh dan tari sebagai bahasa visual utama, bukan hanya sekadar cabang sinema eksperimental, melainkan arena di mana tubuh manusia berfungsi sebagai kanvas untuk revolusi bentuk. Dalam tradisi avant-garde, yang sejak awal abad ke-20 menentang narasi linear dan realisme konvensional, sinema gestural muncul sebagai medium untuk menguji batas antara seni… Ruang Film & Experimental