Potensi “spoiler”. Disarankan untuk menonton filmnya sebelum membaca ulasan di bawah.
Setelah lebih dari 18 tahun, seri zombi 28 Days Later merilis seri ketiganya, 28 Years Later yang kembali digarap Danny Boyle. Uniknya, penulis naskah aslinya juga kembali, yang lain tak bukan adalah Alex Garland. Nama Garland, kini makin mencuat sebagai sineas setelah sukses Civil War serta Warfare, belum lama ini. Beberapa nama besar pun terlibat dalam 28 Years Later, sebut saja Aaron Taylor-Johnson, Ralph Fiennes, Jodie Comer, serta bintang cilik Alfie Williams. Bermodal popularitas seri, sineas, serta penulis naskahnya, apa yang kini diharapkan penikmat seri dan genrenya pada seri ketiga kali ini?
Dua puluh delapan tahun sejak wabah zombi mulai merebak di Kota London, situasi rupanya tidak pernah kembali normal. Para penyintas yang terisolir kini menjalani hidup secara mandiri, jauh dari peradaban modern. Satu kelompok penyintas, hidup di sebuah pulau kecil yang hanya memiliki akses ke daratan sewaktu air laut surut. Senjata api sudah tidak lagi menjadi pilihan dan tiap warga diharuskan mahir untuk berburu dan membunuh menggunakan busur dan panah.
Seorang ayah, Jamie (Johnson) mengajak puteranya, Spike (Williams) pertama kali ke daratan untuk menguji kemampuan bertahan hidup. Dalam satu momen, sekelompok zombi yang dikomandoi seorang “alpha” mendadak menyerang hingga memaksa mereka kembali ke pulau dengan susah payah. Bermodal informasi pengalamannya melintas di daratan, Spike pun bertekad membawa ibunya, Isla (Comer) yang sakit parah, untuk berobat pada seorang dokter bernama Kelson (Fiennes) yang konon tinggal tak jauh dari wilayah pantai.
Latar cerita yang demikian jauh tentu membuat penasaran bagi fans serinya, apa lagi kisah yang ingin ditawarkan? Poin kisah 28 Days dan 28 Weeks adalah aksi bertahan hidup. 28 Days menggunakan formula standar baku plot zombi yang berujung pada pesan “humanity”, bahwa manusia tidak lebih baik dari zombi. Zombi menjadi metafora sifat beringas dan liar pada diri manusia. 28 Weeks yang sarat adegan aksi, lebih menyinggung kejemawaan umat manusia yang pada akhirnya tidak mampu mengontrol “nature”. Lantas apa yang menjadi poin kisah 28 Years Later?
Tema “survival” jelas bukan lagi menjadi opsi utama dan Garland yang kental dengan sentuhan humanisnya membawa naskahnya jauh lebih suram dan memiliki kedalaman serta level absurd yang tidak kita temui pada seri sebelumnya. Garland membawa kisahnya menjadi sebuah siklus “evolusi” manusia di mana zombi menjadi katalis yang mempercepat proses ini. Segmen awal menegaskan eksistensi zombi alpha yang secara fisik jauh lebih superior dan mustahil untuk ditaklukkan. Dan edannya, dari persilangan zombi Aplha dan perempuan lahir manusia normal. Apa bisa melihat arahnya?
Poin absurd juga muncul dari sikap sang bocah yang mengantar ibunya yang sakit keras, jauh di seberang sana, melewati puluhan (mungkin ratusan) zombi yang nyaris mustahil untuk dilewati. Mengapa begitu nekat? Jawabnya adalah sifat manusiawi yang tak mungkin luntur ditelan zaman dan mampu melewati batasan serta mengalahkan segalanya. “Love”. Dalam hal ini cinta tulus antara ibu dan anaknya. Poin senada yang juga muncul pada dua seri sebelumnya.
Ucapan Nelson dalam satu momennya, “…the living and the dead are all the same…” semakin menegaskan segalanya yang menjadi fundamental bagi metafora film bertema zombi. Selipan cuplikan gambar (nondiegetic) yang tak biasa, beberapa kali muncul menggambarkan sifat alamiah manusia (saling membunuh) sejak era silam. Segmen opening dan ending akhirnya saling bertautan di penghujung. Secara brilian pula, sang sineas, di penghujung menyelipkan ilustrasi musik segmen sekuen pembuka 28 Days Later dengan pula teks “28 Days Later” untuk menggambarkan bahwa ini semua adalah sebuah siklus yang berulang. Melalui topik dan kemasan estetiknya, 28 Years Later lebih terasa sebagai tontonan art house ketimbang film mainstream.
Setelah berjarak sekian lama, 28 Years Later tidak lagi bereksplorasi dengan tema aksi “survival”, tetapi sesuatu yang lebih gelap dan dalam, relate dengan situasi global kini. Entah, apakah ini yang diharapkan penikmat genre dan serinya? Rasanya tidak. Jarak seri dan generasi penonton bakal meluruhkan pesan mulianya. Baik Boyle maupun Garland mampu mengolah naskahnya dengan sebuah kedalaman value yang belum pernah dieskplorasi subgenre zombi mana pun. Boyle secara konsisten juga masih menunjukkan gaya estetiknya yang khas, melalui sisi sinematografi serta editing yang dinamis. Kabarnya, film ini bakal diproduksi dua sekuelnya lagi, dan satu filmnya bakal rilis awal tahun depan. Saya menanti dengan antusias.
The post 28 Years Later | REVIEW appeared first on montasefilm.
Setelah berjarak sekian lama, 28 Years Later tidak lagi bereksplorasi dengan tema aksi “survival”, tetapi sesuatu yang lebih gelap dan dalam.
The post 28 Years Later | REVIEW appeared first on montasefilm. montasefilm