Hanung Bramantyo kembali menyutradarai film dengan bumbu sejarah tahun ini setelah sebelumnya cukup sukses dengan Rahasia Rasa. Film teranyarnya berjudul Gowok Kamasutra Jawa ini masih tayang di bioskop dan telah mengumpulkan sekitar 385 ribu penonton (data Cinepoint, 16/6). Seperti apakah filmnya? Seperti judulnya, film ini membahas tentang praktik gowok di daerah Banyumas dan sekitarnya. Praktik menyiapkan pria untuk berumah tangga ini di film masih eksis pada jaman Indonesia merdeka hingga meredup sejak tahun 1965.
Dikisahkan Ratri (Alika Jantinia), anak perempuan penjaja tubuh, diasuh oleh Nyai Santi (Lola Amaria), seorang gowok yang disegani. Ia dipersiapkan untuk menjadi penerusnya. Hingga kemudian datang anak priyayi bernama Kamanjaya (Devano Danendra) yang akan digowok.
Pemuda itu sejak awal sudah jatuh hati dengan Ratri. Ia juga yang membujuk Ratri melanggar ketentuan ritual persiapan gowok yang telah diwanti-wanti oleh Nyai Santi. Hingga kemudian terjadi sesuatu. Ratri dan Kamanjaya kemudian melakukan perbuatan yang melewati batas.
Alih-alih membahas tentang dunia gowok, film ini lebih kental bumbu drama percintaannya dibandingkan unsur sejarah dari praktik pergowokan di Jawa. Padahal yang menarik sebenarnya tentang tema gowok tersebut daripada kisah percintaan dalam film ini yang klise dan dibuat begitu dramatis.
Namun, bisa jadi ada pertimbangan dari sutradara dan penulis naskah, Aci, agar cerita gowok inti tidak terasa berat. Tema percintaan juga masih lebih disukai dan mudah diterima di kalangan masyarakat. Film ini sendiri juga ternyata merupakan adaptasi novel berjudul Nyai Gowok karya Budi Sardjono.
Kisah pergowokan ini baru sebatas permukaan, dari kitab-kitab Jawa kuno yang hanya disitir, tapi tidak dinampakkan cuplikan kata-kata dari kitab tersebut. Begitu juga dengan sejarah asal-usul gowok yang disebut-sebut dari negeri Tiongkok dan berasal dari nama perempuan yang ikut rombongan Cheng Ho bernama Goo Wok Niang. Semuanya baru sebatas kulit, dengan referensi sejarah yang patut dipertanyakan.
Seperti halnya Rahasia Rasa, Hanung nampaknya ingin membuat fiksi sejarah, dengan mencampurkan banyak elemen sehingga jalan ceritanya melenceng ke sana ke mari dan memberikan peluang banyak plot hole. Unsur yang seolah-olah bagian sejarah dalam Rahasia Rasa rupanya juga sebagian besar imajinasi liar.
Dalam Gowok Kamasutra Jawa, Hanung hampir melakukan hal yang sama. Ia membaurkan sejarah dan khayalan dalam kisah pergowokan dengan embel-embel terinspirasi dari kisah nyata di mana agak berbahaya bagi penonton awam apabila mengira referensi sejarah itu benar, bukan semata dugaan atau rekaan. Untungnya Hanung masih menahan diri, hanya menambahkan cerita pemberontakan PKI tahun 1965 dan keberadaan Gerwani dalam film ini.
Dari segi cerita, Gowok Kamasutra Jawa mengingatkan pada Memoirs of a Geisha (2005), tetapi desain karakter dan cerita tentang profesi geisha jauh lebih unggul. Cerita gowok hanya dominan tentang percintaan dan balas dendam dengan bumbu intrik. Pesan perempuan untuk berjuang bagi dirinya sendiri juga kurang kuat karena karakter Ratri yang kurang konsisten. Begitu juga dengan tema seksualitas perempuan kurang tereksplorasi. Beberapa segmen dalam film ini juga membuka ruang bagi plot hole.
Desain karakter Ratri di sini menurut penulis yang terburuk. Kurang mencerminkan sosok perempuan yang diasuh dan dididik di lingkungan yang ketat dan penuh tata krama. Dari remaja hingga dewasa yang menonjol kiranya kecerobohan dan ketidakmampuan mengontrol diri.
Alur cerita dan desain penokohan menjadi poin lemah dalam film ini. Tone dan mood dalam film juga kurang jelas dan kurang konsisten. Kadang-kadang film ini memiliki nuansa seperti film horor alih-alih drama, ada juga segmen yang terasa seperti thriller. Dialognya juga kadang kaku, dengan penggunaan bahasa Jawa yang beberapa di antaranya kurang umum.
Meski ada beberapa keterbatasan, ada berbagai sisi lain yang patut diapresiasi. Dari sisi akting, kehadiran kembali Lola Amaria sebagai aktris memberikan nyawa dalam film ini. Djenar Maesa Ayu juga mencuri perhatian, meski belakangan perannya tipikal. Namun, dengan hanya kemunculannya, suasana berubah menjadi tegang lewat sosoknya yang intimidatif.
Visual, properti, dan kostum yang paling patut dirayakan dalam film produksi MVP Pictures dan Dapur Films ini. Bangunan padepokan gowok yang memiliki arsitektur Tiongkok dan meja persembahan selaras dengan cerita gowok yang disampaikan berasal dari negeri Tiongkok. Panorama alam menuju dan di sekeliling padepokan juga memanjakan mata dan pas menjadi layar cerita tahun 1950-1965. Kebaya yang dikenakan pemain juga indah.
Hanung juga cerdik menyiasati bagian-bagian yang sensual sehingga tidak nampak vulgar. Meskipun ada dua jenis film dengan rating berbeda, bagian yang sensual pada rating 21+ terbilang minim. Itupun hanya sebatas pengaturan pergerakan pemain dan trik pengambilan gambar.
Gowok Kamasutra Jawa masih belum layak disebut fiksi sejarah yang epik. Ceritanya masih dominan kisah percintaan yang klise. Namun, film ini memberikan pengalaman visual yang menarik lewat gambar-gambar bentang alam yang elok, desain properti yang mumpuni, dan desain kostum yang memikat.
The post Gowok Kamasutra Jawa | REVIEW appeared first on montasefilm.
Walau sisi visual Gowok Kamasutra Jawa menarik, namun sang sineas kembali membaurkan sisi fiktif dengan sejarah tanpa eksposisi karakter yang kuat.
The post Gowok Kamasutra Jawa | REVIEW appeared first on montasefilm. montasefilm