F1 The Movie | REVIEW

Film ini bisa jadi bakal dinantikan oleh jutaan fans penggemar olahraga balap populer dan tercepat di planet ini. F1 adalah film olahraga yang diarahkan oleh Joseph Kosinski yang telah menggarap film-film besar, seperti Tron: Legacy, Oblivion, hingga Top Gun: Maverick. F1 dibintangi oleh Brad Pitt, Damson Idris, Kerry Condon, Tobias Menzies, dan Javier Bardem. Produser kawakan Jerry Bruckheimer turut terlibat, dan yang unik adalah Brad Pitt dan pembalap kenamaan F1, Lewis Hamilton, juga menjadi produser. Dengan bujet raksasa USD 300 juta, mampukah F1 menemui ekspektasi fans balap dan pecinta genrenya?

Sonny Hayes (Pitt) adalah mantan pembalap Formula One (F1) AS yang pada era 1990-an mengalami kecelakaan yang menghancurkan karirnya. Setelahnya, ia hidup mengembara dengan mobil VW-nya untuk membalap dari satu balapan ke balapan lainnya. Kesempatan besar akhirnya datang setelah rekan lawasnya, Ruben Cervantes (Bardem), yang juga pemilik tim F1 APXGP, mengajaknya untuk menggantikan satu pembalapnya yang pindah dan masih menyisakan separuh musim. Tim APXGP rupanya adalah tim terbawah yang belum pernah mendapat poin secuil pun dalam lomba ini. Sonny yang terhitung tua untuk pembalap F1, awalnya diremehkan oleh tim mekanik dan rekan setimnya, Noah Pearce (Idris), tetapi penampilan dan talentanya yang handal, agresif, serta mudah beradaptasi, lambat laun membuatnya mencuri perhatian publik.

Tidak seperti film dokumenter, topik tentang F1 jarang sekali diangkat menjadi film fiksi. Terakhir adalah Rush (2013) yang menyajikan rivalitas antara Nikki Lauda dan James Hunt pada era 1970-an. Selebihnya film-film balap mobil di ajang race car lainnya, seperti Days of Thunder, Ford vs Ferarri, Gran Turismo, seri animasi Cars, hingga seri balap jalanan populer, Fast & Furious. Formula One yang konon adalah olahraga termahal di muka bumi hingga regulasi dan segala protokolernya yang kompleks dan level safety yang tinggi. Bisa jadi ini yang membuat mengapa balap mobil ini sulit direalisasikan, terutama pada era modern. F1 yang akhirnya diproduksi hingga kini dirilis, patut mendapat apresiasi tinggi untuk para pembuat filmnya.

Bagi penonton awam yang bukan fans balap mobil F1, bisa jadi aturan main dan istilah-istilah teknis bakal menjadi kendala besar. Istilah macam lap, pit stop, safety car, red flag, blue flag, soft/hard tire, chicane, dan lainnya, pasti kurang familiar tapi tentu akrab di telinga fansnya. Belum lagi aturan main lomba balap yang rumit, aturan pit stop, serta regulasi lainnya. Sementara bagi fans dan para antusias lomba F1, tentunya film ini seolah menjadi tontonan “reguler”. Semua atributnya dijamin bakal terasa familiar bagi para fansnya, baik tim dan mobil (semua tim besar F1), pembalap (segudang cameo pembalap F1), sirkuit, kru mekanik, suara mesin, bahkan hingga suara duo komentator yang sudah kita kenal betul. Apakah pengetahuan semua ini punya pengaruh sewaktu menonton?

Yes, 100%. Ketika aturan main balap diakali demikian “cerdik” dalam satu segmen balap, penonton fans F1 pasti bakal tahu persis mengapa ini tidak lazim dalam balapan nyata. Dalam satu momen, Hayes beberapa kali beraksi tidak fair yang berakibat safety car keluar sehingga menguntungkan rekan satu timnya. Bagi pecinta F1 tentu ini terasa absurd, sekaligus menggelitik (sisi humor), karena aturan rupanya bisa diakali sedemikian rupa. Satu momen lagi adalah momen segmen klimaks yang menegangkan, ketika terjadi red flag yang mengharuskan balapan harus diulang seperti di awal meski bersisa hanya 3 lap. Sepanjang saya menonton balap F1 (saya melewati beberapa musim terakhir), belum pernah hal ini terjadi.

Bagi fans genrenya, kalian sudah tahu betul formula plotnya adalah tipikal genrenya. Seorang pembalap atau tim “underdog” yang berjuang keras untuk meraih impiannya. Struktur tiga babak solid tersaji, intensitas drama dan aksi yang penuh ketegangan, dengan ending yang sangat memuaskan penonton. Separuh penonton yang nyaris terisi penuh bahkan bertepuk tangan dengan riuh. Ini satu hal yang jarang sekali terjadi. Secara teknis, aksi-aksinya didukung sinematografi dan teknik editing cepat yang sangat mengesankan, montage yang menjadi tradisi genrenya, serta terakhir didukung ilustrasi musik komposer kawakan Hans Zimmer yang menambah sensasi menonton begitu membekas. Semuanya komplit, menyajikan satu tontonan aksi balap yang begitu memukau.

Walau realita kisahnya nyaris mustahil terjadi, F1 The Movie adalah salah satu prototipe genrenya yang paling menghibur “at full throttle” dalam beberapa dekade terakhir. Bagi para fans dan pecinta fanatik F1, menonton film ini adalah sebuah sensasi yang sangat menggairahkan, atau bisa jadi sebuah tontonan absurd yang tidak masuk akal dan terlalu didramatisir. Sebagai pecinta F1 dan film sport, saya menikmati semua momennya dengan sepenuh hati. F1 adalah salah satu film olahraga yang paling menghibur dan menyenangkan yang pernah ada. Durasi 156 menit terasa berlalu cepat dan idealnya ditonton di layar yang selebar mungkin dan tata suara terbaik (Dolby Atmos).

The post F1 The Movie | REVIEW appeared first on montasefilm.

​Walau realita kisahnya nyaris mustahil terjadi, F1 adalah salah satu prototipe genrenya yang paling menghibur “at full throttle” dalam beberapa dekade terakhir.
The post F1 The Movie | REVIEW appeared first on montasefilm.  montasefilm 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *