Eksperimentasi Film The Tree Of Life

Terrence Malick bukanlah sutradara biasa, beliau dikenal dengan pendekatan sinematik yang lebih mengutamakan refleksi daripada alur cerita biasa. The Tree of Life (2011) adalah salah satu karyanya yang paling ambisius, menghadirkan pencarian makna tentang kehidupan, kehilangan, dan hubungan manusia dengan alam semesta. Film ini bukan sekadar drama keluarga, melainkan sebuah pengalaman sinematik yang mengaburkan batas antara film konvensional dan eksperimentasi visual. Salah satu aspek utama yang membuat The Tree of Life berbeda dari film pada umumnya adalah struktur non-linearnya. Film ini tidak mengikuti pola sebab-akibat yang biasa ditemukan dalam narasi konvensional. Sebaliknya, cerita bergerak seperti potongan-potongan ingatan, mengalir bebas antara masa kecil Jack (Hunter McCracken), kehidupannya di masa kini sebagai pria dewasa (Sean Penn), hingga sekilas gambaran tentang penciptaan alam semesta.

Menurut Bordwell dan Thompson (2019), narasi non-linear dalam film sering digunakan untuk meniru proses berpikir manusia yang tidak selalu berjalan secara kronologis. Malick memanfaatkan teknik ini untuk membangun pengalaman yang lebih subjektif bagi penonton, mengajak mereka untuk memahami kehidupan Jack melalui potongan memori yang muncul secara acak. Secara visual, The Tree of Life merupakan sebuah puisi yang dimodifikasi ke dalam medium film. Malick bekerja sama dengan sinematografer Emmanuel Lubezki untuk menciptakan komposisi gambar yang memanfaatkan cahaya alami, pengambilan gambar tanpa tripod menggunakan kamera genggam, serta komposisi gambar yang terlihat spontan. Hasilnya adalah sinematografi yang terasa hidup, penuh dengan pergerakan yang natural, seolah menangkap momen-momen kecil dalam kehidupan dengan spontan dan intim. Yang paling mencolok adalah rangkaian panjang tentang penciptaan alam semesta. Dalam bagian ini, film meninggalkan narasi keluarga O’Brien dan memasuki perjalanan visual yang menampilkan ledakan bintang, formasi planet, hingga kemunculan kehidupan pertama di bumi. Tidak ada penjelasan verbal, hanya montase visual yang menghubungkan kehidupan pribadi Jack dengan skala kosmik yang jauh lebih besar. Douglas Trumbull, yang sebelumnya mengerjakan efek visual 2001: A Space Odyssey (Kubrick, 1968), bertanggung jawab atas segmen ini. Dalam wawancara dengan The Hollywood Reporter (2011), ia mengungkapkan bahwa efek visual tersebut dibuat menggunakan teknik praktis, seperti reaksi kimia dan makro-fotografi, untuk menciptakan tampilan yang lebih organik daripada CGI modern.

Di tengah segala keagungan visual dan filosofi eksistensialnya, The Tree of Life tetap berakar pada cerita yang sangat personal: hubungan antara seorang anak dengan orang tuanya. Jack tumbuh dalam keluarga dengan dua figur parental yang sangat kontras. Ayahnya (Brad Pitt) adalah sosok yang keras dan otoriter, percaya bahwa kehidupan harus diperjuangkan dengan disiplin dan ambisi. Sebaliknya, ibunya (Jessica Chastain) mewakili kelembutan, kasih sayang, dan penerimaan. Dinamika ini mencerminkan konsep “jalan alam” versus “jalan kasih” yang dijelaskan dalam kritik film oleh Brody (2011) di The New Yorker. “Jalan alam” mengacu pada sifat kompetitif dan agresif yang dimiliki sang ayah, sementara “jalan kasih” menggambarkan kehangatan dan kepasrahan sang ibu. Jack, sebagai karakter utama, berada dalam konflik antara dua jalan ini, yang kemudian membentuk identitas dan pemahamannya tentang kehidupan.

Keunikan The Tree of Life adalah minimnya dialog. Film ini lebih mengandalkan voice-over dan bahasa visual. Voice-over dalam film ini sering kali berbentuk pertanyaan filosofis atau doa yang ditujukan kepada Tuhan, memperkuat tema spiritualitas yang menjadi inti cerita. Hal ini membuat pengalaman menonton menjadi lebih personal, seolah penonton sedang mendengarkan pikiran-pikiran Jack yang paling dalam. Dalam analisisnya di Film Quarterly, Smith (2012) menyebutkan bahwa teknik ini mengingatkan pada gaya sinematik Andrei Tarkovsky, di mana emosi lebih disampaikan melalui suasana daripada dialog eksplisit. Dengan demikian, Malick menciptakan pengalaman sinematik yang lebih dekat dengan seni meditasi daripada sekadar narasi tradisional. Tema utama The Tree of Life adalah pencarian makna hidup. Jack dewasa mengalami krisis eksistensial, merasa hampa meski sukses. Kenangan masa kecilnya membawanya pada pertanyaan tentang keberadaan, takdir, dan Tuhan.

Filosofi yang diangkat dalam film ini sejalan dengan pandangan tentang makna hidup seperti yang dikemukakan oleh Jean-Paul Sartre dan Martin Heidegger. Sartre (2007) berpendapat bahwa manusia tidak memiliki makna bawaan dan harus menciptakan makna hidupnya sendiri. Dalam konteks film, Jack dewasa berusaha menemukan makna hidupnya di tengah kehampaan emosional yang ia rasakan.

 

Kesimpulan

The Tree of Life bukanlah film yang mudah untuk dikategorikan atau dicerna dalam sekali tonton. Ia menggabungkan elemen drama keluarga yang intim dengan eksplorasi visual dan filosofis yang sangat luas. Struktur non-linear, sinematografi eksperimental, dan minimnya dialog membuatnya lebih menyerupai pengalaman introspektif daripada sekadar hiburan konvensional. Bagi sebagian orang, film ini bisa terasa membingungkan atau bahkan membosankan karena kurangnya plot yang jelas. Namun, bagi mereka yang terbuka terhadap pengalaman sinematik yang berbeda, The Tree of Life menawarkan refleksi mendalam tentang kehidupan, memori, dan hubungan manusia dengan alam semesta. Dalam akhirnya, film ini mengajak kita untuk bertanya: apakah kehidupan ini hanya kebetulan kosmik belaka, ataukah ada sesuatu yang lebih besar yang menghubungkan kita semua? Malick tidak memberikan jawaban pasti, tetapi justru itulah yang membuat The Tree of Life begitu kuat-ia bukan film yang berbicara kepada kita, melainkan film yang meminta kita untuk berbicara kepada diri kita sendiri.

​Terrence Malick bukanlah sutradara biasa, beliau dikenal dengan pendekatan sinematik yang lebih mengutamakan refleksi daripada alur cerita biasa. The Tree of Life (2011) adalah salah satu karyanya yang paling ambisius, menghadirkan pencarian makna tentang kehidupan, kehilangan, dan hubungan manusia dengan alam semesta. Film ini bukan sekadar drama keluarga, melainkan sebuah pengalaman sinematik yang mengaburkan batas…  Ruang Film & Experimental 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *